Oleh: Catatan Asro Kamal Rokan
JAM digital mobil menunjukkan pukul 22.45, Ahad (20/02/22). Sudah lebih dua jam perjalanan dari Rengat sampai Pelalawan, yang berjarak sekitar 124 kilometer. Masih sekitar 80 kilometer lagi sampai di Pekanbaru. Malam telah menutup pohon-pohon sawit di hampir sepanjang jalan. Dari rumah-rumah penduduk, yang kami lewati, cahaya lampu terlihat kemerahan. Ada juga pasar malam yang sepi.
Munir Musa -- saudara dan teman sepermainan masa remaja -- duduk di kerusi depan bersama Rio yang memandu kereta dengan laju. Munir asyik bermain games dari telepon genggamnya. Saya duduk di kerusi baris tengah. Dalam perjalanan jarak jauh, kebiasaan saya memutar lagu-lagu lama, yang tersimpan di telepon genggam. Jumlahnya sekitar 300 lagu, dalam berbagai irama. Ada lagu Barat, India, Melayu, pop Indonesia, juga Padang Pasir.
Sejak dari Rengat, berganti-ganti lagu yang Said Effendi, Bimbo, Scorpions, Chrisye, Utha Likamahua, Everly Brothers, Heintje, Kabhi Kabhi, Yadoon Ki Barat, Ahmad Jais, Muchsin-Titiek Sandhora hingga El Soraya. Terkadang, saya turut bernyanyi dengan suara perlahan agar tidak terdengar sumbang.
Tiba di Pelalawan, Deep Purple menghentak dalam irama heavy metal. Judul lagunya, Smoke on the Water. Lagu pilihan kami masa remaja pada sekitar 1972 di Gang Langgar, Sukaramai, Medan. Rambut saya afro, seperti Gito Rollies. Munir berambut lurus, sedikit tebal. Bunyi gitar yang dipetik Ritchie Blackmore, seperti mengalir dalam aliran darah. Blackmore menjadi idola remaja masa itu.
Kami ingat sekali, poster Blackmore ukuran besar -- bonus Majalah Aktuil -- kami tampal di kamar rumah Bang Nasir Musa-Kak Hafizatul Abadi, tempat kami tinggal. Di kamar ini juga ada abang kandung saya, A Muchyan AA, yang kelak Ketua PWI Sumut, serta Ismail Musa. Keduanya sudah meninggal. Kami menyukai muzik, namun tidak berani menyanyi dan tidak boleh bermain gitar. Jemari sukar menekan snar di leher gitar.
Di poster berwarna itu, Blackmore memetik gitar, rambutnya panjang tidak terurus. Di sebelahnya, poster lengkap personil Deep Purple, antara lain Ian Gillan (vokalis) dan Ian Paice (drumer). Dua lagi saya lupa namanya. Di empat sudut dinding papan itu, tidak hanya poster Blackmore, terdapat juga Jimi Hendrix, Suzi Quatro, Donny Osmond, dan Jetro Tull.
Di atas deretan poster itu, kami tuliskan warna putih: Madesu -- Masa depan suram. Juga ada Lapendos (Lelaki penuh dosa). Madesu dan Lapendos populer di kalangan pemuda dan remaja saat itu. Di tembok-tembok rumah, di dinding toko, lorong-lorong kecil, tulisan tersebut mudah ditemui hingga tahun 80-an.
Deep Purple, berdiri pada 1967 di England, pelopor heavy metal, di samping Led Zeppelin, Rolling Stones, dan Black Sabbath. Selain Smoke on the Water (album Machine Head-1972), Deep Purple popular di antaranya melalui lagu Soldier of Fortune, dan Highway Star. Lagu-lagu tersebut berada di puncak tangga lagu Barat di berbagai radio swasta -- ketika itu masih menggunakan gelombang AM, belum FM. Hobi mendengar muzik menjadikan saya sebagai penyiar radio Eldraba Medan, selanjutnya pindah ke Radio Sonya Medan pada 80-an. Ramai pendengarnya, dan sering sekali lupa usia.
Pada 70-an, Majalah Muzik Aktuil, yang dipimpin Denny Sabri, menjadi rujukan penggemar muzik Barat dan nasional. Kami membeli dua atau tiga sekaligus majalah lama dari berbagai edisi -- maklumlah wang belanja tidak mencukupi untuk membeli majalah baru -- di pasar buku-buku lama, di Titi Gantung atau Lapangan Merdeka Medan. Selain mahukan poster-poster band yang selalu diselitkan, Aktuil juga menyajikan cerita bersiri berjudul Orexsas karya Remi Sylado.
Beberapa kali, majalah ini memuat liputan band Medan, di antaranya The Great Session Medan dengan penyanyinya Taruna Jasa Said (kini pimpinan Harian Waspada) dan Rizaldi Siagian (kini pemuzik terkemuka), juga band The Minstrel’s (Jelly Tobing). Ada juga The Rhythm Kings (Mawan dan Mawi Purba) dan The Mercy’s (Rinto Harahap, Charles Hutagalung) sebelum pindah ke Jakarta, 1972.
Lagu Smoke on the Water disiarkan pada 1972 berdasarkan kisah nyata kebakaran di Kompleks Montreux Casino, dekat Danau Jenewa, Swiss, setahun sebelumnya. Saat itu, mereka akan merakam album Machine Head memakai studio rakaman bergerak milik Rolling Stones. Tiba-tiba, seorang penonton menembakkan pistol suar, yang kemudian membakar bahagian bumbung. Api marak dan menghanguskan kompleks judi tersebut.
Penulis lagu, Roger Glover menceritakan peristiwa tersebut. Lagu ini bingit dengan petikan gitar Ritchie Blackmore: But some stupid with a flare gun/Burned the place to the ground/Smoke on the water -- bagian lirik Smoke on the Water.
Lagu ini popular di seluruh dunia, menduduki carta keempat di Billboard Amerika selama 1973. Juga di Kanada, England, Jerman, Australia, dan digemari di Indonesia. Mereka mencatat Guinness Book of World Records, 1975 sebagai paling laris di dunia. Piring hitam dan cassette rakaman Deep Purple laris, sekitar 100 juta unit terjual di seluruh dunia. Saya membeli kaset terpakai album itu di pasar barang barang lusuh Titi Gantung.
Konsert di Jakarta
Dalam tour Asia, Australia, dan Amerika, Disember 1975, mempromosikan album ketiga Come Taste the Band, Deep Purple konsert di Gelora Senayan, Jakarta. Konsert ini dipimpin Denny Sabri, pemimpin redaksi Majalah Aktuil. Purple tampil dua hari dengan jumlah penonton memenuhi Gelora.
Ritchie Blackmore tidak lagi bergabung. Pemain gitar utamanya digantikan Tommy Bolin. Vokalis Ian Gillan digantikan David Coverdale. Selebihnya, drummer Ian Paice, Jon Lord, dan Glenn Hughes tetap ikut tour antarbenua ini.
Jimmy S Harianto -- wartawan Kompas yang mengikuti konsert ini -- dalam tulisan di Kompasiana, 25 Agustus 2021, secara detil menceritakan kembali konsert terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia.
Di bawah judul "Insiden Fatal Warnai Konser Deep Purple 1975" Jimmy -- yang saya kenal ketika kami sama-sama wartawan olahraga di Senayan -- bercerita, Rabu siang 3 Desember 1975, pesawat Boeing 707 TransAir membawa rombongan besar Deep Purple tiba di Bandara Kemayoran Jakarta dari Australia.
Denny Sabri, yang mengenal dekat pengurus jelajah Deep Purple, Rob Cooksey, bersedia membawa Deep Purple konsert di Jakarta selama dua hari, dari jadual semula sehari. Promotor pertunjukan Buena Ventura. Penonton mencapai 75,000-an orang. Deep Purple meminta tambahan bayaran dari Rp 15 juta, menjadi sekitar Rp 45 juta.
Band popular ini menginap di Hotel Sahid. Di sini, terjadi insiden fatal. Menurut Jimmy, malam itu terjadi perkelahian antara kru Purple, yang mengakibatkan Patsy Collins terjatuh ke lantai dan kepalanya terhantak di tembok. Namun versi lain, tulis Jimmy, Patsy Collins melanggar pintu kecemasan khusus untuk saluran paip air di Hotel Sahid Jaya, dan jatuh dari tingkat delapan. Patsy meninggal.
Pengurus siri jelajah itu, Rob Cooksey dan Patrick Callaghan sempat ditahan polis Jakarta kerana insiden kematian Patsy Collins. Mereka masing-masing membayar US 2,000 dollar untuk mendapatkan pasport mereka kembali. Bassist Dee Purple, Glenn Hughes dalam satu wawancara menyatakan "konsert di Jakarta ini bagaikan sebuah neraka, dan bersyukur dia dapat keluar dari Indonesia hidup-hidup."
Selain insiden, problem lain muncul. Peralatan muzik kumpulan hebat dari England itu, dalam jumlah besar, itu Khamis (4/12/1975) ditahan di pelabuhan Tanjungpriok. Pihak pelabuhan mencurigai peralatan diseludupkan untuk dijual ke Indonesia. Akibat penahanan itu, menurut Danny Sabri, pemasangan peralatan tertunda dari jam 12.00 menjadi jam 15.00. Sedangkan, malam itu adalah pertunjukan pertama Deep Purple.
Semua peralatan muzik, pentas, lampu, sistem suara, peralatan persembahan dan pentas hanya siap dipasang sekitar pukul 18.00. Menurut Jimmy, bagian samping kiri-kanan dan belakang panggung berukuran hanya 15x30 meter itu padat dengan perlengkapan muzik dan sistem suara Deep Purple. Tinggi peralatan lebih tiga meter, menjulang seperti pencakar langit di pentas.
Akibat kelewatan pemasangan peralatan, menyebabkqn aksi pentas band kebanggaan Tanah Air, God Bless, dibatalkan sebagai band pembuka tirai kepada konsert Deep Purple di hari pertama. Mereka hanya tampil di pembukaan konsert hari kedua, 5 Desember 1975.
Hari pertama relatif sukses, meski demikian, tulis Jimmy, Tommy Bolin terkesan seperti orang mabuk. Pada hari kedua, suasana kacau. Pasukan keselamatan lebih tegas. Ini kerana situasi politik sedang panas, menghadapi gejolak di Timor Timur. Di sekitar panggung, banyak anjing pengesan dobberman.
Berbagai benda-benda keras melayang di atas kepala penonton, yang dilontarkan pihak yang menginginkan kerusuhan. Bassist Glenn Hughes, tulis mantan Redaktur Olah Raga Kompas itu, mengaku sempat menyaksikan seorang remaja digigit anjing sehingga berdarah-darah.
Deep Purple mengakhiri pentasnya dengan "Highway Star". Setelah itu, mereka bergegas turun panggung, melihat situasi penonton konser yang makin kacau.
Di Medan, saat konsert Deep Purple, saya mendengar lagu Smoke on the Water, yang menghentak. Saya menikmatinya ..
Pekanbaru, 21 Februari 2022.
-- BERNAMA
Asro Kamal Rokan merupakan Ketua Iswami Indonesia